Toilet Adalah Ruang Baca
sumber gambar : emjannah.blogspot.com |
Pada saat itu
juga saya tidak pernah lagi membaca di meja kerja. Walau pun dekat meja kerja
ada koran harian atau majalah mingguan. Itu pun jarang.
Saya jadi teringat
bagaimana Bung Hatta ketat sekali bila ingin membaca. Sebelum mulai, Bung Hatta
akan pergi mandi, lalu mengenakan pakaian terbaik dan mamakai sepatu. Seperti
hendak kencan dengan pasangan --jomblo pasti tidak tahu itu. Setelah rapih,
barulah Bung Hatta duduk dan pergi membaca.
"Aku rela dipenjara asalkan
bersama buku, karena buku aku bebes," kata Bung Hatta. Belum ada orang
yang saya tahu sebegitunya dengan buku. Ya, hanya Bung Hataa itu.
Mau baca buku
saja mandi dulu. Rapih-rapih dulu. Pakai sepatu. Saya, barangkali bisa
melakukan itu sekaligus di hari pernikahan saya nanti. Saya harap kamu hadir.
Tidak hanya saya, Gopah juga. Gopah juga pernah ditegur saat membaca buku di
Mushala.
Hari itu, di Mushala, sedang diadakan kerja bakti hari minggu. Gopah
dan saya hadir. Gopah yang kerja bakti, saya kebagian main air. Waktu siang,
sebelum masuk sekolah waktu dzuhur, semua yang ikut kerja bakti istirahat.
Beberapa pulang untuk makan, beberapa lainnya bertahan sekadar ngopi-ngopi di
halaman Mushala.
Gopah membaca buku kisah Islami yang tebalnya sebesar bantal.
Gopah bersandar di salah satu tiang Mushala yang di bagian luar. Saya
duduk-duduk saja di rumput halaman. Seorang datang menegur Gopah dan memintanya
untuk tidak membaca di Mushala. "Lebih baik baca Quran."
Gopah
menutup buku yang sedang ia baca dan meletakkan kembali di lemari. Saya diajak
Gopah pulang. Sepertinya saya pernah menceritakannya. Entah, saya lupa.
Tapi
semenjak ditegur seperti itu dan ingat Gopah, saya bukannya manut, malah makin
mencari celah-celah lain, semacam tempat persembunyian untuk tetap bisa membaca.
Apalagi saat saya sedang tidak ingin ke mana-mana. Misalnya: toilet.
Toilet
umum memang bukan tempat buang air yang nyaman. Namun, bagi saya, toilet umum
seperti yang ada di kantor-kantor, adalah tempat yang baik untuk baca.
Alasan
utamanya mungkin karena tempatnya amat privat, sudah begitu bersih. Nikmat mana
lagi yang hendak kau dustakan saat baca buku tidak ada yang ganggu?
Pernah,
belum lama saat teguran itu saya terima, saya benar-benar ingin membaca cerpen
Agus Noor yang dimuat di Radar Bogor. "Pencuri Salib" judulnya, moga
benar itu judulnya. Saya bawa koran itu ke toilet dan, tidak sampai setengah
jam selesai.
Ada yang saya tidak suka itu jika terbawa emosi saat membaca di
toilet. Untuk cerpen "Pencuri Salib", misal. Selesai membaca itu,
keluar toilet dan ingin sekali memarahi orang lain yang sering menyepelekan
rumah ibadah.
Atau, buku-buku yang baru saja dikirimkan. Mereka, buku-buku itu,
seperti tidak sabar untuk dibaca. Saya sering langsung ke toilet --yang pasti
setelah memotonya untuk memberi tahu pengirim kalau buku telah sampai-- dengan
menyimpannya di balik baju. Cukup baca beberapa lembar saja.
Dan belum lama
ini, hari senin kemarin, membaca cerpen Paknya Triyanto Triwikromo yang dimuat
di harian KOMPAS. Sebuah cerpen yang dituju untuk Gus Mus dan almh. istrinya:
"Setelah 16.500 Hari".
Baru saja saya baca bagian pertama, mata sudah
terasa berat. Sedikit berkaca-kaca. Saya bangkit dari meja kerja dan melipat
cerpen itu ke kantong. Saya ke toilet untuk menyelesaikannya. Dan benar saja,
dari dalam toilet saya benar-benar menangis. Lelaki lemah memang saya ini.
Gampang sekali bersedih untuk hal-hal seromantis itu.
Cerpen itu, masih di
toilet, saya baca ulang. Malah makin sedih sejadi-jadinya.
Untuk menetralkan,
saya berpikir yang tidak-tidak saja: mengapa bisa Sapardi bilang kalau dia
tidak bisa sedih --atau, menjaga jarak emosionalnya-- ketika membaca?
Pernyataan itu Sapardi katakan saat ditanya perasaanya ketika diberi hadiah
ulang tahun berupa cerpen oleh JokPin.
Ia biasa saja ketika diberikan hadiah
itu. Senang, sudah pasti, tapi cerpen JokPin juga sedih kok ceritanya. Saya
saja hampir mewek bacanya.
Entah, ketika itu saya tidak bisa berpikir apa-apa.
Sedihnya cerpen Paknya Triyanto masih terbayang. Keluar dari toilet dan kembali
ke meja kantor, saya hanya tertunduk beberapa saat. Pura-pura membuat mata
merah, supaya dikira ketiduran. Akting saya berhasil.
sumber : kompasiana
Oleh karena itu, agar toilet tetap terjaga bersih kami Nusantara Cleaning siap melayani jasa bersih toilet, jasa general cleaning toilet, jasa cleaning toilet
Selain perpustakaan dan toko buku, toilet adalah tempat yang baik
--hampir mendekati nyaman-- untuk baca buku.
Membaca itu baik. Apa saja asal bisa dibaca: buku, koran, sampai balasan
pesan dari mantan --walau sedikit menyakitkan, namun mengenangkan. Tapi
tidak selama yang baik itu bisa dilakukan semena-mena dan di mana saja.
Saya pernah ditegur ketika membaca buku saat jam kerja, meski ketika
itu saya sedang istirahat. Meski saya lebih memilih membaca buku
daripada makan ke kantin. Meski sebatas teguran, namun lebih mirip
larangan.
Pada saat itu juga saya tidak pernah lagi membaca di meja kerja. Walau
pun dekat meja kerja ada koran harian atau majalah mingguan. Itu pun
jarang.
Saya jadi teringat bagaimana Bung Hatta ketat sekali bila ingin membaca.
Sebelum mulai, Bung Hatta akan pergi mandi, lalu mengenakan pakaian
terbaik dan mamakai sepatu. Seperti hendak kencan dengan pasangan
--jomblo pasti tidak tahu itu. Setelah rapih, barulah Bung Hatta duduk
dan pergi membaca.
"Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena buku aku bebes," kata
Bung Hatta. Belum ada orang yang saya tahu sebegitunya dengan buku. Ya,
hanya Bung Hataa itu.
Mau baca buku saja mandi dulu. Rapih-rapih dulu. Pakai sepatu. Saya,
barangkali bisa melakukan itu sekaligus di hari pernikahan saya nanti.
Saya harap kamu hadir.
Tidak hanya saya, Gopah juga. Gopah juga pernah ditegur saat membaca
buku di Mushala.
Hari itu, di Mushala, sedang diadakan kerja bakti hari minggu. Gopah dan
saya hadir. Gopah yang kerja bakti, saya kebagian main air. Waktu
siang, sebelum masuk sekolah waktu dzuhur, semua yang ikut kerja bakti
istirahat. Beberapa pulang untuk makan, beberapa lainnya bertahan
sekadar ngopi-ngopi di halaman Mushala.
Gopah membaca buku kisah Islami yang tebalnya sebesar bantal. Gopah
bersandar di salah satu tiang Mushala yang di bagian luar. Saya
duduk-duduk saja di rumput halaman. Seorang datang menegur Gopah dan
memintanya untuk tidak membaca di Mushala. "Lebih baik baca Quran."
Gopah menutup buku yang sedang ia baca dan meletakkan kembali di lemari.
Saya diajak Gopah pulang.
Sepertinya saya pernah menceritakannya. Entah, saya lupa.
Tapi semenjak ditegur seperti itu dan ingat Gopah, saya bukannya manut,
malah makin mencari celah-celah lain, semacam tempat persembunyian untuk
tetap bisa membaca. Apalagi saat saya sedang tidak ingin ke mana-mana.
Misalnya: toilet.
Toilet umum memang bukan tempat buang air yang nyaman. Namun, bagi saya,
toilet umum seperti yang ada di kantor-kantor, adalah tempat yang baik
untuk baca.
Alasan utamanya mungkin karena tempatnya amat privat, sudah begitu
bersih. Nikmat mana lagi yang hendak kau dustakan saat baca buku tidak
ada yang ganggu?
Pernah, belum lama saat teguran itu saya terima, saya benar-benar ingin
membaca cerpen Agus Noor yang dimuat di Radar Bogor. "Pencuri Salib"
judulnya, moga benar itu judulnya. Saya bawa koran itu ke toilet dan,
tidak sampai setengah jam selesai.
Ada yang saya tidak suka itu jika terbawa emosi saat membaca di toilet.
Untuk cerpen "Pencuri Salib", misal. Selesai membaca itu, keluar toilet
dan ingin sekali memarahi orang lain yang sering menyepelekan rumah
ibadah.
Atau, buku-buku yang baru saja dikirimkan. Mereka, buku-buku itu,
seperti tidak sabar untuk dibaca. Saya sering langsung ke toilet --yang
pasti setelah memotonya untuk memberi tahu pengirim kalau buku telah
sampai-- dengan menyimpannya di balik baju. Cukup baca beberapa lembar
saja.
Dan belum lama ini, hari senin kemarin, membaca cerpen Paknya Triyanto
Triwikromo yang dimuat di harian KOMPAS. Sebuah cerpen yang dituju untuk
Gus Mus dan almh. istrinya: "Setelah 16.500 Hari".
Baru saja saya baca bagian pertama, mata sudah terasa berat. Sedikit
berkaca-kaca. Saya bangkit dari meja kerja dan melipat cerpen itu ke
kantong. Saya ke toilet untuk menyelesaikannya. Dan benar saja, dari
dalam toilet saya benar-benar menangis. Lelaki lemah memang saya ini.
Gampang sekali bersedih untuk hal-hal seromantis itu.
Cerpen itu, masih di toilet, saya baca ulang. Malah makin sedih
sejadi-jadinya.
Untuk menetralkan, saya berpikir yang tidak-tidak saja: mengapa bisa
Sapardi bilang kalau dia tidak bisa sedih --atau, menjaga jarak
emosionalnya-- ketika membaca? Pernyataan itu Sapardi katakan saat
ditanya perasaanya ketika diberi hadiah ulang tahun berupa cerpen oleh
JokPin.
Ia biasa saja ketika diberikan hadiah itu. Senang, sudah pasti, tapi
cerpen JokPin juga sedih kok ceritanya. Saya saja hampir mewek bacanya.
Entah, ketika itu saya tidak bisa berpikir apa-apa. Sedihnya cerpen
Paknya Triyanto masih terbayang. Keluar dari toilet dan kembali ke meja
kantor, saya hanya tertunduk beberapa saat. Pura-pura membuat mata
merah, supaya dikira ketiduran. Akting saya berhasi
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/harryramdhani/toilet-adalah-ruang-baca-pribadi_579b847a4b7a614d21b54299
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/harryramdhani/toilet-adalah-ruang-baca-pribadi_579b847a4b7a614d21b54299
Toilet Adalah Ruang Baca
Reviewed by Nusantara Cleaning
on
11:20 AM
Rating:
No comments: